Makassar – Kehangatan suaranya meluruhkan dingin ruang Phinisi Hall, Claro Hotel, Makassar, ketika Menase Fami melangkah bicara mantap di atas podium sederhana di sebuah forum nasional, Senin (23/6/2025). Ia bukan pejabat, bukan pula tokoh politik. Tapi kisah yang dibawanya menggugah perhatian para peserta dari seluruh penjuru Indonesia.
“Saya dari Kampung Persiapan Malasigi,” ucapnya pelan namun tegas. “Dulu kami berjalan sendiri. Kini, kami berjalan bersama. Dengan banyak yang peduli, termasuk SKK Migas dan Pertamina EP Cepu,” sambungnya.
Kampung Adat Malasigi, Distrik Klayili, Kabupaten Sorong, di Papua Barat Daya dulunya hanya sebuah titik senyap di peta. Namun dari tanah yang dijaga adat dan dilingkupi hutan lebat itu, muncul cerita tentang harapan. Tentang bagaimana masyarakat adat bangkit memaknai pembangunan, dengan cara mereka sendiri.
Wisata dan Adat: Menyatukan yang Dulu Terpisah
Segalanya berawal dari sumber air panas. Dahulu, tempat itu dianggap sakral. Hanya tokoh adat tertentu yang boleh mendekat. Tapi seiring waktu dan dialog lintas generasi, muncul kesepakatan: membuka akses bagi wisatawan, tanpa menghapus nilai adat yang melekat.
“Kami hormati leluhur, tapi kami juga melihat masa depan,” jelas Menase Fami.
Masyarakat membentuk MPHK; lembaga kampung yang mengelola potensi wisata dan budaya secara mandiri. Wilayah adat dibagi menjadi empat marka: Vanu, Su, Kilara, dan Kuator. Hanya Marka Vanu yang sejauh ini aktif mengembangkan sektor wisata, termasuk konservasi burung cenderawasih dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu.
SKK Migas – Pertamina EP Cepu: Dari Komunikasi Menjadi Kolaborasi
Di balik cerita perjuangan itu, ada peran penting SKK Migas-Pertamina EP Cepu. Mereka hadir bukan sekadar menyampaikan program, tapi membangun relasi: mendengar, memahami, dan menyesuaikan irama pembangunan dengan napas lokal.
“Kami belajar banyak: cara bicara di depan umum, membuat video promosi, sampai ikut lomba desa wisata,” ujar Menase Fami. “Bukan hanya diajari, tapi ditemani,” tuturnya.
Program-program tanggung jawab sosial yang dijalankan tak lagi bersifat top-down. Pendekatan humanis dan partisipatif membuat masyarakat merasa menjadi bagian dari perubahan, bukan hanya sebagai penerima manfaat.
Rizky Fadli, sepupu Menase Fami, menjadi salah satu wajah dari keberhasilan ini. Ia belajar menjadi pemandu wisata, kembali ke kampung, dan kini mengelola kawasan pengamatan burung cenderawasih di Malasigi. Lima jenis cenderawasih berhasil dikonservasi dengan pendekatan lokal dan swadaya.
Lebih dari Infrastruktur: Tentang Rasa Memiliki
Kini, Kampung Malasigi punya listrik tenaga surya, air bersih, dan jalan setapak menuju kawasan wisata air panas. Tapi yang paling berharga bukanlah beton atau pipa; melainkan rasa percaya diri yang tumbuh di tengah masyarakat adat.
“Kami bukan hanya penerima. Kami adalah mitra. Kami ikut menentukan,” terang Menase Fami.
“Waktu Presiden Jokowi datang, kami kalungkan hasil kerajinan kami sendiri. Bangga sekali. Itu kerja bersama,” sambungnya.
Catatan dari Timur
Cerita dari Malasigi adalah cermin bahwa pembangunan tak harus seragam. Ketika komunikasi dijalankan dengan empati dan partisipasi, perubahan bisa tumbuh dari bawah; mengakar, menyebar, dan bertahan.
SKK Migas-Pertamina EP Cepu, melalui pendekatan yang humanis dan strategis, menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial bukan sekadar kegiatan tambahan. Ia adalah jantung dari relasi yang sehat antara industri, masyarakat, dan alam.
Dan dalam sorotan cahaya matahari Papua, di antara dedaunan dan suara burung cenderawasih, masa depan itu mulai disulam. Perlahan, tapi pasti.
(daf/daf)