Jakarta – Penyelenggaraan ibadah haji 2024 mencatat sejarah penting bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak pandemi, kuota jemaah kembali normal bahkan ditambah 20.000 oleh Pemerintah Arab Saudi. Tambahan ini adalah bentuk kepercayaan internasional terhadap kualitas pengelolaan haji Indonesia, yang selama ini dikenal profesional.
Namun, seiring kompleksitas teknis dan dinamika lapangan, kebijakan penyesuaian alokasi kuota harus dilakukan secara cepat dan tepat. Kementerian Agama menegaskan bahwa seluruh keputusan tersebut diambil dalam kerangka kepentingan jemaah dan didasarkan pada pertimbangan teknis yang matang.
Penyesuaian Kuota: Respons Cepat atas Tantangan Teknis di Mina
Tambahan kuota sebanyak 20.000 jemaah diberikan Arab Saudi pada Oktober 2023. Berdasarkan ketentuan UU No. 8/2019, komposisi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus tetap menjadi acuan awal. Namun dalam implementasi, muncul tantangan baru: perubahan sistem zonasi pemondokan di Mina.
Pemerintah Arab Saudi mulai 2024 menerapkan sistem zonasi berbayar yang membagi Mina dalam lima zona. Keterbatasan ruang, kenaikan harga sewa tenda, dan alokasi lokasi bagi jemaah Indonesia menjadi tantangan nyata. Kemenag merespons situasi ini dengan langkah strategis: menyesuaikan alokasi kuota tambahan, sebagian dialihkan kepada jemaah haji khusus yang memiliki kesiapan anggaran.
“Langkah ini bukan pelanggaran, melainkan respons teknis atas kondisi di lapangan. Yang kami jaga adalah keberangkatan jemaah tetap aman, tertib, dan sesuai standar pelayanan,” jelas Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief.
Diskresi yang Didasarkan pada UU dan Prinsip Kepentingan Publik
Kebijakan tersebut diambil dalam bingkai diskresi, yang secara hukum dibenarkan. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperbolehkan pejabat mengambil diskresi dalam keadaan tertentu untuk menjamin pelayanan publik tetap berjalan.
“Diskresi ini bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan, melainkan demi melindungi jemaah agar tidak ada kuota yang hangus dan seluruhnya bisa diberangkatkan dengan aman,” tegas Hilman.
Capaian Signifikan: Penurunan Angka Kematian Jemaah Haji
Terlepas dari polemik, penyelenggaraan haji 2024 justru mencatat prestasi yang signifikan: angka kematian jemaah turun drastis menjadi 276 orang, terendah sejak 2015. Dibandingkan tahun sebelumnya (2023) yang mencapai 773 orang, penurunan ini menunjukkan bahwa aspek kesehatan dan perlindungan jemaah menjadi prioritas utama.
Peningkatan kualitas layanan kesehatan, pemantauan sejak keberangkatan, hingga inovasi manajemen di lapangan terbukti efektif.
Keterbukaan dan Komitmen Akuntabilitas
Kementerian Agama membuka diri terhadap semua proses evaluasi, termasuk melalui jalur DPR dan KPK. Proses ini adalah bagian dari komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.
“Prinsip kami jelas: terbuka, profesional, dan selalu siap mengevaluasi. Kami yakin, keputusan yang diambil bisa dipertanggungjawabkan secara administratif, hukum, dan moral,” ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Pembelajaran dan Reputasi Internasional
Penyesuaian seperti ini juga terjadi di negara lain. India, Malaysia, Gambia, dan Nigeria juga mengambil langkah cepat dalam menyesuaikan kebijakan haji akibat perubahan sistem zonasi Mina. Namun Indonesia justru berhasil mengawal seluruh proses dengan aman, teratur, dan mendapat apresiasi dari otoritas Saudi.
Pelayanan Ibadah Haji: Antara Dinamika dan Dedikasi
Polemik yang berkembang justru menjadi pengingat bahwa penyelenggaraan haji adalah tugas besar dan dinamis. Dibutuhkan keputusan cepat, profesionalisme, dan keberanian mengambil langkah dalam situasi tak terduga.
Kemenag berkomitmen untuk terus menyempurnakan layanan, menjaga transparansi, dan menghadirkan tata kelola haji yang amanah demi kemaslahatan jemaah Indonesia. (*red)