Rembang – Semester pertama tahun anggaran 2025 segera berakhir, namun capaian pendapatan pajak daerah Kabupaten Rembang masih terseok. Hingga pertengahan Juni ini, akumulasi realisasi seluruh sektor pajak baru mencapai 27,1 persen dari total target tahunan.
Kondisi ini menjadi alarm fiskal yang cukup serius, mengingat Kabupaten Rembang saat ini tengah mengalami tekanan anggaran akibat defisit APBD. Capaian ini juga seolah memperkuat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang dalam audit terbarunya menyoroti belum optimalnya kinerja Pemkab Rembang dalam mengelola pendapatan asli daerah, khususnya sektor perpajakan.
Berdasarkan data yang diterima rembangsepekan.com dari BPPKAD Rembang, dari belasan jenis pajak yang ditarik, hanya satu yang menunjukkan performa positif: pajak jasa parkir. Pajak ini sudah mencapai lebih dari setengah targetnya, yakni sebesar Rp116 juta dari total target Rp200 juta. Selebihnya, seluruh sektor pajak lainnya masih berada di bawah 50 persen capaian.
Pajak air tanah tercatat sebagai penyumbang terbesar kedua dengan angka realisasi sebesar Rp365 juta, atau sekitar 45,6 persen dari target Rp800 juta. Di bawahnya, pajak hiburan atau kesenian mengumpulkan Rp41 juta dari target Rp100 juta, sekitar 41,4 persen.
Kinerja pajak kendaraan bermotor juga masih jauh dari ideal. Dari target lebih dari Rp33 miliar, baru terkumpul sekitar Rp12,9 miliar, atau hanya 38,8 persen. Pemerintah daerah mencoba menggenjot sektor ini dengan mengedarkan surat edaran dari Bupati, yang mewajibkan kendaraan operasional perusahaan di wilayah Rembang untuk menggunakan pelat K-D.
Pajak hotel juga belum menunjukkan hasil signifikan. Baru sekitar Rp745 juta yang masuk dari target Rp2 miliar, atau 37,2 persen. Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang menjadi salah satu tulang punggung pendapatan, baru mencapai Rp15,8 miliar dari target Rp43,3 miliar, atau sekitar 36,5 persen.
Pajak tenaga listrik dan reklame mencatat realisasi serupa, masing-masing sekitar 36 persen. Pajak atas transaksi tanah dan bangunan (BPHTB) pun belum menggembirakan, baru mencapai 34,4 persen dari target Rp14,7 miliar.
Sektor kuliner juga belum optimal. Pajak dari makanan dan minuman baru terkumpul Rp1,6 miliar dari target Rp5 miliar, atau setara 33,6 persen. Sementara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) hanya tercapai 29,4 persen dari target Rp20,8 miliar.
Yang paling menonjol mengalami penurunan tajam adalah Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), yang baru mengumpulkan sekitar Rp6,4 miliar dari target hampir Rp28,4 miliar. Penurunan ini dipengaruhi oleh berhentinya operasi pabrik semen yang sebelumnya menjadi kontributor besar.
Pajak-pajak lain bahkan lebih rendah lagi. Pajak dari sarang burung walet, misalnya, baru masuk sebesar Rp300 ribu dari target Rp5 juta, atau hanya 6 persen. Paling mengkhawatirkan, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2), yang biasanya menyumbang besar, baru tercapai 2,67 persen, yakni sekitar Rp935 juta dari target Rp35 miliar.

Kabid Pendapatan BPPKAD Rembang Sumarni, saat dikonfirmasi ihwal capaian pajak, belum lama ini. (Foto: rembangsepekan.com)
Kepala Bidang Pendapatan BPPKAD Rembang, Sumarni, menyebut berbagai faktor menjadi penyebab rendahnya capaian. Mulai dari kondisi ekonomi masyarakat, hingga faktor-faktor spesifik seperti penurunan aktivitas industri dan berkurangnya populasi sarang walet.
“Kami sudah mengirim surat edaran dari Pak Bupati agar kendaraan operasional perusahaan yang beroperasi di Rembang menggunakan pelat K-D, supaya pendapatan dari PKB dan BBNKB bisa meningkat,” jelas Sumarni.
Pemerintah Kabupaten Rembang kini dihadapkan pada tantangan serius untuk mengejar sisa target di sisa tahun anggaran. Jika tidak ada strategi cepat dan terukur, potensi gagal memenuhi target pendapatan sangat besar, dan ini bisa berdampak langsung pada program pembangunan dan pelayanan publik.
(kyv/daf)