Menu

Dark Mode

Edukasi

Nasib Gen Z: Terjebak Budaya ‘Ordal’

badge-check


					Ilustrasi. (Foto: rembangsepekan.com) Perbesar

Ilustrasi. (Foto: rembangsepekan.com)

REMBANG – Budaya “orang dalam” atau yang populer disebut ordal masih mengakar kuat dalam kultur masyarakat Indonesia. Bagi mereka yang memiliki koneksi, praktik ini dianggap sebagai jalan pintas yang menguntungkan. Namun, bagi generasi Z yang tidak memiliki jaringan ordal, hal ini justru menjadi hambatan besar, terutama saat mencari pekerjaan.

Istilah “orang dalam” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang berada dalam satu lingkungan tertentu. Fenomena yang dulunya bersifat terselubung (undercover) ini kini seolah menjadi sesuatu yang lumrah, bahkan dimaklumi. Budaya ordal sangat identik dengan praktik nepotisme, yakni tindakan memberikan akses atau meloloskan seseorang untuk mendapatkan jabatan atau posisi tertentu berdasarkan hubungan pribadi, bukan kemampuan.

Fenomena ini juga terjadi di berbagai sektor kehidupan: ketenagakerjaan, pendidikan, pelayanan publik, hingga akses kesehatan. Tak jarang, keputusan yang seharusnya berdasarkan merit atau kompetensi justru ditentukan oleh siapa yang dikenal di dalam sistem tersebut.

Saya yakin, sebagian besar dari kita pernah mengalami, menyaksikan, atau bahkan terlibat dalam praktik meminta bantuan kepada “orang dalam”, entah itu kerabat maupun saudara. Bahkan dalam urusan yang terbilang sepele, -seperti mengurus dokumen kependudukan- masih banyak yang memilih “jalan belakang”.

Padahal, pemerintah sudah berupaya mempermudah layanan publik dengan sistem daring yang bisa diakses dari mana saja. Namun, sebagian generasi muda tetap lebih nyaman meminta bantuan keluarga dengan alasan “tidak paham”.

Contoh kecil itu menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan publik akan sia-sia jika masyarakat masih terus bergantung pada praktik semacam ini. Secara tidak langsung, kebiasaan mengandalkan “orang dalam” membuat kita kehilangan kemandirian. Kita jadi terbiasa mencari jalan mudah, bukan belajar berproses. Jika terus seperti ini, kapan bangsa ini bisa maju, sementara masyarakatnya enggan mandiri?

Di Indonesia, ‘Orang Dalam’ Dianggap Halal

Kelumrahan mengandalkan “orang dalam” yang dibiarkan terus-menerus akan menimbulkan efek berantai. Praktik ini berpotensi mematikan peluang bagi individu yang sebenarnya memiliki kemampuan dan kualitas unggul.

Dalam buku Rekrutmen dan Seleksi: Antara Nepotisme dan Profesionalisme karya Dr. Sigit Hermawan (2021), disebutkan bahwa budaya nepotisme berdampak buruk bagi masyarakat. Salah satunya, menimbulkan diskriminasi terhadap kesempatan pengembangan diri dan karier yang berimplikasi pada turunnya motivasi serta kinerja individu.

“Praktik ini tentunya juga dapat menutup kesempatan orang lain yang memiliki kompetensi mumpuni untuk berkembang,” tulis Sigit.

Lebih jauh, praktik nepotisme dan ordal akan melahirkan pragmatisme sosial yang semakin liar. Masyarakat menjadi terbiasa berpikir bahwa segala sesuatu bisa diperoleh melalui koneksi, bukan usaha dan kemampuan.

Secara hukum, memang tidak ada aturan khusus yang melarang seseorang masuk kerja melalui “orang dalam”. Perusahaan pun memiliki keleluasaan untuk merekrut karyawan sesuai kebutuhannya. Namun, ketika praktik ini dilakukan tanpa pertimbangan profesional, dampaknya jelas, menurunnya kualitas sumber daya manusia dan ketidakadilan dalam kesempatan kerja.

Ubah Pola Pikir, Mulai dari Diri Sendiri

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Mulailah dengan mengubah pola pikir. Biasakan berusaha dan belajar sendiri. Semua hal bisa dilakukan jika mau mempelajarinya. Tanyakan pada diri sendiri, “Jika suatu hari kenalan atau saudara yang biasa membantu tidak bisa lagi menolong, siapa yang akan membantu kita selain diri sendiri?”

Sudah saatnya generasi muda meninggalkan mentalitas bergantung pada “orang dalam”. Mandiri bukan berarti menolak bantuan, tetapi berani berproses tanpa jalan pintas. Hanya dengan kemandirian dan kompetensi, Indonesia bisa benar-benar melangkah maju.

 

Penulis: SHEILA EVIRA PUTRI (Mahasiswa Administrasi Publik Kampus Rembang Universitas Diponegoro)

Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi rembangsepekan.com

Baca Juga

Kurikulum Cinta: Sri Wulan Tekankan Pendekatan Humanis dalam Pendidikan Madrasah

22 October 2025 - 09:21 WIB

INSANA, Solusi Sampah dari Desa Meteseh

21 October 2025 - 08:34 WIB

Yuk Datang di Pameran Foto Jurnalistik Santri di Lasem

18 October 2025 - 17:58 WIB

Desa Wisata Sendangasri Dihijaukan 500 Pohon Buah, Kolaborasi Antara-DPR RI

4 October 2025 - 12:43 WIB

763 Porsi Nasi Kuning MBG di SMPN 5 Rembang Dikembalikan, Gegara Berair dan Lembek

1 October 2025 - 12:28 WIB

Trending di Berita