Rembang – Aroma santan dan rempah menyeruak dari deretan warung di Sentra Kuliner Lontong Tuyuhan, Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang. Para pedagang tampak duduk rapi mengenakan peci hitam, menyambut pengunjung yang datang silih berganti.
Di balik kesederhanaannya, Lontong Tuyuhan menyimpan kisah panjang yang kini mendorongnya untuk ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb.
Pengusulan dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Rembang dan tengah dikaji oleh tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X. Selain kelezatan rasanya, kuliner ini dinilai memiliki nilai filosofi dan sejarah yang kuat.
“Rasanya ini khas sekali. Gurih, manis, pedas, semua menyatu. Ini yang membedakan dari opor biasa,” kata Rais, Ketua Paguyuban Pedagang Lontong Tuyuhan, saat ditemui rembangsepekan.
Kuliner Lontong Tuyuhan berupa lontong dan ayam kampung, disiram kuah santan kaya rempah seperti cabai, laos, jahe, kunir, daun jeruk, hingga jinten. Hidangan ini diwariskan turun-temurun dan dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Warisan Dakwah Lewat Kuliner
Menurut Rais, kuliner ini dulunya digunakan sebagai sarana dakwah oleh tokoh agama Islam setempat, Mbah Jumali. Suatu ketika, seorang santri bertanya bagaimana cara berdakwah yang membumi. Mbah Jumali pun memberi pesan sederhana namun bermakna: beri nasihat setelah orang makan (kenyang).
“Jangan sampai memberi pitutur luhur kepada orang yang lapar, nanti malah bertengkar. Jadi setelah makan baru diberi masukan,” tutur Rais.
Sejak saat itu, warga mulai menjajakan lontong dengan pikulan, berkeliling kampung. Pikulan ini pun menyimpan filosofi: seberat apapun hidup, harus tetap dijalani dan dipikul.
“Dulu juga pakai sentir untuk penerangan. Artinya hidup harus memberi cahaya untuk orang lain,” tambahnya.
Simbol Nilai Hidup
Lontong berbentuk segitiga juga bukan tanpa alasan. Tiga sisinya melambangkan tiga prinsip dasar dalam Islam: Iman, Islam, dan Ihsan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuk itu juga diartikan sebagai simbol kerja yang harus jujur, benar, dan teliti.
Bahkan, dominasi pedagang pria di sentra kuliner ini juga punya makna khusus. Menurut Rais, itu menjadi simbol bahwa laki-laki harus bertanggung jawab atas urusan ekonomi, dan itu adalah bentuk penghormatan terhadap perempuan.
Pernah Jadi Logistik Pejuang
Tak hanya sarat filosofi, Lontong Tuyuhan juga tercatat dalam sejarah perjuangan. Ernantoro, pegiat sejarah Lasem, menyebut makanan ini digunakan sebagai bekal prajurit saat Perang Kuning tahun 1742.
“Di Tuyuhan, makanan ini disiapkan untuk para pejuang melawan Belanda. Ini bukan sekadar makanan, tapi bagian dari sejarah perlawanan rakyat,” ungkap Ernantoro kepada rembangsepekan.com.
Menuju Warisan Budaya Tak Benda
Proses pengusulan Lontong Tuyuhan sebagai warisan budaya tak benda kini masuk tahap awal. Pihak Dinbudpar Rembang tengah melakukan pencatatan, dan selanjutnya akan menyusun naskah akademik, dokumentasi, serta data sejarah, filosofi, hingga keberadaan maestro kuliner.
Jika lolos, Lontong Tuyuhan akan menyusul sejumlah kuliner Nusantara lain yang lebih dulu ditetapkan sebagai warisan budaya.
Sembari menunggu proses itu, para pedagang di Sentra Kuliner Tuyuhan tetap setia menjaga rasa dan nilai yang tertanam dalam setiap sajian mereka. Di balik semangkuk Lontong Tuyuhan, tersaji lebih dari sekadar makanan; ada nilai, sejarah, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
(kyv/daf)